temanturatea.com

3 Hari Dua Malam; Camping di Hutan Pinus Rombeng

Perjalanan camping yang tertunda sejak bulan September tahun 2023 akhirnya bisa kami realisasikan di liburan akhir tahun. 

Jumat tanggal 29 desember 2023 packing perlengkapan sedari pagi. Lepas solat jumat, makan siang yang ternyata butuh waktu lebih lama dari biasanya karena saya harus masak lagi nasi untuk bekal karena kurang. Akhirnya di pukul 14.38 WITA kami melaju dengan sepeda motor menuju kecamatan Uluere desa Bonto lojong kabupaten Bantaeng.

Perjalanan lancar, kami singgah di lapangan Tolo’ untuk membeli bekal ayam geprek, dan mampir lagi di Rumbia untuk membeli beberapa logistik seperti minuman jamu dan roti. 

Bawaan saya yang tidak seperti biasanya, membutuhkan perhatian ekstra. Biasanya saya hanya membawa tas 35 liter namun kali ini tas yang saya bawa 75 liter. Saya insist bawa 2 sleeping bag karena anak-anak sudah makin besar. Sebelumnya mereka memakai 1 SB yang sama berdua. Saya dan suami hanya bermodal jaket dan kaos kaki tebal karena suhu udara di hutan pinus dengan ketinggian 1250 mdpl tidak terlalu dingin.





Hari Pertama

Tiba di lokasi camp sekitar pukul 16.00 WITA, kami berjalan kaki sekitar 5 menit menuju lokasi camp. Hutan pinus rombeng Nampak lengang sore itu, tidak banyak pengunjung yang mendirikan tenda. Diakui para pedagang yang bermukim hujan hampir turun setiap hari. Usai mendirikan tenda, kami sholat ashar berjamaah, menyapa pemilik warung memesan teh sambil menunggu waktu sholat magrib tiba.

Senang sekali anak-anak tetap antusias untuk melaksanakan sholat berjamaah. Makan malam kami menyantap nasi bekal dari rumah dan ayam goreng yang kami beli di Tolo’. Menyalakan api unggun yang kayunya kami beli 1 ikat 10k di warung. Menikmati kerlap-kerlip gemintang, alhamdulillah langit cerah, bulan yang bersinar terang dan rasi Orion sangat jelas terlihat di balik rimbun daun pinus. Pukul 20.00 anak-anak sudah menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Kami tetap mengajak mereka konsisten sikat gigi dan buang air kecil. Mengganti pakaian yang basah menjadi pakaian tidur. Mereka cepat sekali terlelap karena jam tidur siang mereka diganti perjalanan dari Binamu ke Ulu ere.

Hari Kedua


Lepas solat subuh cuaca masih berawan, sebenarnya saya ada rencana mengajak anak suami untuk menempuh perjalanan 1.8km menuju muntea camp untuk menikmati sunrise. Namun cuaca yang berawan menyurutkan semangat saya. Bergegas meramban untuk menyiapkan sarapan keluarga kami. Saya dan suami menikmati pecel dengan wortel dan Galinsoga. Sedang anak-anak hanya menikmati kulupan wortel dan Galinsoga tanpa bumbu pecel karena sedikit pedas. Yap, mereka tak menolak memakan hasil rambanan ibunya. Alhamdulillah.

Usai sarapan kami bersiap memulai perjalanan menuju kebun strawberry yang jaraknya 2.1km dari hutan pinus tempat kami menginap.


Berbekal panduan dari google maps kami sampai di lokasi balai pengembangan hortikultura dalam waktu yang cukup singkat. Akses jalan yang kami lewati juga sudah beraspal hotmix. Setelah memarkirkan kendaraan di depan bangunan balai, sudut mata saya menangkap ada beberapa greenhouse yang nampak di Tengah hamparan bedengan kentang. Kami coba dekati dan kami melihat ada seorang kakek yang sedang mencabut rumput di antara tanaman kentang. Kami menyapa dan menyampaikan maksud kami ingin ke kebun strawberry, saying beribu saying si kakek menjelaskan tanaman strawberry nya sudah mati akibat kemarau. Di dalam greenhouse kami hanya menemukan deretan paprika dalam polybag hitam yang berjajar rapi dengan aneka name tag.


Si kakek penjaga berkisah paprika-paprika ini adalah proyek riset mahasiswa S3 yang sedang penelitian di balai. Tak banyak yang bisa kami gali dari informasi si kakek karena kemudian saya langsung meminta izin untuk meramban Galinsoga yang tumbuh invasive di bedengan yang kosong


Dan singkat cerita ternyata kami tidak bisa memanen stroberry karena saat ini lahannya ditanami kentang. Anak-anak agak kecewa namun mereka sedikit terhibur setelah melihat tanaman paprika di dalam green house. Anak-anak menemukan keunikan dan menjadi bahan bakar imajinasi mereka saat melihat bentuk buah paprika yang tidak sempurna. Kakak berkisah ke adeknya bahwa paprika memiliki rasa yang pedas seperti cabai, mungkin a dapat materi dari tontonan yang ia lihat, Ibuk tahu detailnya dari mana dia mendapatkan pengetahuan itu.

Anak-anak sedikit terobati, dan ibu juga mendapatkan kesempatan yang tak kalah menarik yaitu meramban Galinsoga parviflora. Tanaman yang memang ibuk incar untuk dikeringkan sebagai herbs.

Sesi meramban kali ini bagi kakak membosankan karena dia tidak bisa menemukan keasyikan lagi setelah pengamatan paprika, sedangkan adek menemukan ulat di antara rumput yang ibuk ramban dan dia menikmati pertemuannya dengan ulat hijau tidak berbulu itu.

Setelah saya dibiarkan meramban kakek kembali mendekati kami untuk berbincang; saya bertanya apa nama lokal untuk Galinsoga di Bantaeng, kakek menjawab rumput Belanda.

Saya menceritakan bahwa rumput liar ini bisa dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai herb untuk sup ala negara Kolombia. Ditengah kesibukan saya menyiangi akar rumput Belanda kakek penjaga Kembali menghampiri kami dan membawa gulma liar lain yang daunnya agak menjari. Beliau menyebutnya lamanti. Saya bertanya apakah ada bunganya? Karena tanaman liar tanpa bunga akan sulit untuk diidentifikasi bagi saya yang masih newbie dalam meramban. Tidak menunggu lama, kakek kemudian berkeliling dan mencabut beberapa batang tanaman Lamanti yang sudah berbunga dan berbuah lengkap dengan akarnya. Buahnya nampa mirip leunca dengan warna hijau dan yang tua berwarna kehitaman. Bunganya mirip bunga terong , ah ya daunnya jg mirip lekukknya spertu terong namu lebih sempit, hanya sekitar 3 cm lebarnya. Saya berniat membawa pohon lamanti yang kakek cabut, namun kurang beruntung, tanamannya tertinggal di tempat kami berteduh saat cuaca mendadak hujan.


Di pusat hortikultura saya tidak hanya mendapatkan Galinsoga, tapi juga beruntung bertemu dengan daun sendok Plantago major atau yang dikenal dengan plantein, ki urat. Saya memetik beberapa bunga mudanya untuk kemudian dimasak, saya masukkan dalam saku karena kami meramban tanpa persiapan. Qadarullah sampai di rumah keesokan harinya masih layak dimasak. Selain ki urat saya juga bertemu harendong . Tanaman berbunga ungu yang ternyata buahnya edible dan bisa membuat lidah dan gigi berwarna ungu. Sayang sekali saya belum beruntung mendapatkan buahnya. Baru-baru saya tau dari teman-teman yang memberikan komentar di Instagram bahwa daun tanaman ini bisa digunakan untuk merebus daun pepaya dan mengurangi rasa pahitnya. Wah ibu saya pasti akan sangat suka dengan tanaman ini. Semoga saya beruntung mendapatkannya lain waktu.


Pulang dari pusat hortikultura suami mengajak mampir ke muntea highland camping ground. Baginya tempat itu menyimpan kenangan pertama kali kemping Bersama kawan-kawan seperantauan.

kami melanjutkan perjalanan ke muntea highland. Lokasinya tak jauh, tadi jamu melewatinya sebelum sampai di pusat holtikultura ini. Sesampainya disana ternyata ada Banyak yang berubah dengan lokasi camping itu. Gazebo di pinggir tebing menghilang. Ada rumah baru yang dibangun di dekat pintu masuk yang merangkap warung dan rumah tinggal penjaga tiket.

Kami dikenai tiket 5k per orang untuk dewasa sedang anak-anak bebas tiket masuk. Ada 3 buah tenda yang berdiri di bawah pohon eukaliptus di pinggir jurang. Rumput-rumput yang dulu tinggi dipangkas sehingga permukaan tanahnya Nampak rapi dan memudahkan pengunjung berjalan dan mendirikan tenda.

ada 3 bangku taman yang bisa digunakan bersantai lengkap dengan meja. Meja-meja ini menjadikan pengunjung seperti kami betah melamun menikmati kabut yang mulai mengepung. Jarak pandang yang terbatas, rumah warga yang tadinya Tampak dari kejauhan mulai menghilang digantikan kabut dan awan rendah yang bergerak dari bawah lereng. Kami menikmati hangatnya wedang uwuh yang dibuat bapak tadi pagi saat sarapan. Melihat burung pipit yang beterbangan dengan kawanannya, hinggap di atas kabel di depan kami namun kemudian terbang terburu-buru ketika dua ekor elang dengan sayapnya yang membentang datang mendekat. Keduanya dalam mode aerodinamis berputar-putar seperti mengintai buruan di atas tanah di bawahnya. Pengalaman seperti ini bukanlah pengalaman yang bisa dengan mudah saya dan suami dapatkan waktu kecil. Kami senang sekali bisa melihat wajah-wajah riang anak-anak ketika mendapat pengalaman baru termasuk semua yang mereka lalui pagi itu.

Gerimis mulai datang, kami memutuskan untuk bergegas pergi. Rencananya kami akan mencari warung makan sepanjang jalan menuju hutan pinus rombeng untuk makan siang. Namun tidak ada satu warungpun yang kami temukan, qadarullah kemudian hujan deras turun tepat saat kami tiba di depan masjid. Kami berteduh di rumah ibadah hingga hujan reda. Karena gagal menemukan makan siang kami memutuskan Kembali ke tenda dan memutuskan makan siang do warung dekat kami mendirikan tenda.

Sesampainya di tenda kami tidak mendapati tanda-tanda pasca hujan deras, sepertinya memang hujan tidak sampai mengguyur lokasi camp. Curah hujannya lebih ringan. Selepas makan siang di warung kami memutuskan untuk tidur siang di dalam tenda.

Tenda kami yang sebenarnya summer time series akan sangat panas jika digunakan tdr siang di cuaca musim kemarau khas tropis, qadarullah hujan ringan Kembali mengguyur ketika kami semua Sudah berkumpul di dalam tenda, kami bisa melepas Lelah tidur siang dengan suhu yang sejuk di dalam tenda, alhamdulillah

Menjelang pukul 16.000 kami bangun dan ibu memutuskan untuk memasak bubur sumsum. Ibu sengaja bawa bubur candil dari rumah untuk dinikmati Bersama pemilik warung. Sedang bubur sumsum sebagai pelengkapnya kami masak dadakan. Berbekal santan instan dan 50 gr tepung beras yang sudah dicampur dengan garam, jadikan 4 porsi bubur candil plus sumsum untuk dinikmati Bersama dua orang ibu pemilik warung.

Suasana yang syahdu sore itu rasanya melegakan hati. Kami Kembali ke tenda lepas melaksanakan sholat magrib berjamaah.

Seperti malam-malam sebelumnya kami menyalakan api unggun dan memanggang ketela rambat. Makan malam dan tepat pukul 20.00 kakak mengatakan bahwa dirinya mulai mengantuk. Seketika otak saya flash back tadi siang ia sudah tidur siang nanun energinya Kembali dihabiskan sore tadi. Ia berjalan kesana kemari menjadi batu-batu besar di depan warung, ah anak laki!

Setelah mengajaknya buang air kecil dan sikat gigi saya menutupi beberapa lubang ventilasi tenda dengan hammock sarung bahkan tikar alas duduk kami. Desain tenda ang summer time ini lumayan memiliki banyak bukaan yang membuatnya angin semilir bisa masuk dengan mudah, tentu angin demikian di malam hari tidak banyak kami harapkan. Kami tutup ventilasi tersebut agar tenda menjadi lebih hangat agar kami tidak kedinginan. Usai mengganti pakaian tidur anak-anak, saya pergi melaksanakan sholat isya’ sendiri sedang suami menemani anak-anak hingga terlelap. Lokasi tenda yang cukup jauh dari warung, dan keramaian tidak semeneakutkan malam sebelumnya karena ada 2 buah tenda baru berdiri diantara tenda kami dan jalan setapak ke lapangan utama. Musholla yang baru saja direnovasi dengan tembok galvalume lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Saya masih ingat bulan juni lalu saya melaksanakan sholat dengan gempuran angin yang masuk lewat celah papan kayu menjadikan tubuh yang baru saja terkena air wudhu semakin kedinginan. Namun saya akui, saya lebih suka desain mushola dengan papan kayu sebelumnya dibandingkan dengan galvalum ini. Kesan naturalnya seketika lenyap meski atapnya yang terbuat dari daun lontar masih dipertahankan. Tidak seperti malam sebelumnya Malam yang tenang berlalu meski Bulan terlambat muncul.

Hari ketiga


Semenjak datang di hutan pinus rombeng ada satu aktivitas yang sangat ditunggu anak-anak yaitu; mandi di Sungai tidak jauh dari lokasi camping kami. Kami menjajikan menemani mereka bermain ari selepas sarapan dan morning walk. Morning walk hari itu kami berjalan ke sisi lain hutan pinus, tempat kami pernah mendirikan tenda bulan juni lalu. Tempat yang pas karena lokasinya di atas bukit dan memudahkan pengamatan milky way meski ada beberapa tajuk pohon pinus yang menghalangi pandangan. Ada pohon pinus berukuran besar yang roboh di atas tanah. Pohon pinus itu dl sempat kami jadikan panjang tempat memasang hammock, kali ini pohon pinusnya saya gunakan sebagai lokasi pemotretan product klien, iya saya masih bekerja saat liburan atau bisa dibilang saya liburan untuk kerja hehe.

Anak-anak membawa binocular. Bermain dengan kulit pinus yang lepas dan mereka menemukan ide permainan

Puzzle dari kepingan kulit-kulit pinus itu. Kurang lebih satu jam 20 menit saya bekerja dengan kamera hape dan waktu terasa berlalu dengan cepat. Saya harus segera menyudahi sesi bekerja saya saat itu dan segera Kembali ke tenda untuk sarapan. Usai sarapan kami bergegas menuju Sungai, ada jalan setapak kecil yang sebenarnya merupakan akses lama menuju hutan pinus rombeng, pertama kami mengunjungi hutan pinus di tahun 2019 kami melewati jalan setapak ini hingga akhirnya pihak pengelola merubah akses pintu masuk dan membangun area parkir untuk pengunjung. Sebelumnya pengunjung harus memarkir kendaraannya di rumah-rumah warga dan berjalan kaki sekitar 500 meter melewati ladang dan menyebrangi sebuah Sungai kecil. Sungai kecil inilah yang disukai anak-anak.

Sayang disayang, Sungai yang kamu tuju airnya mengering. Adek menunjukkan kesedihannya, meski tidak menangis raut wajahnya yang penuh kekecewaan Nampak sangat jelas tergambar. Namun demikian sesaat kemudian ia minta diambilkan daun berbentuk hati yang cukup lebar, ia menyebutnya paying totoro, mereka ulang permainannya di Sungai dengan daun itu bulan juni lalu. Alasan mengapa aliran sungainya kering kami belum temukan jawabannya. Kami Kembali ke area camping dengan ibuk yang sesekali berhenti untuk meramban pegagan, cerita meramban ibu akan ibu ceritakan di sesi terpisah ya.

Usai meramban saya bergegas membereskan tenda sedangkan suami menemani anak bermain ayunan untuk mengobati kekecewaan anak-anak yang gagal mandi di Sungai. Prakiraan cuaca pukul 10:00 pagi maka nada badai petir dan gerimis, namun qadarullah gerimisnya tak jadi turun.


bersambung ...

Posting Komentar